Archive for September, 2013

September 30, 2013

kepada yang akan pergi

awan hitam merendah
mengirim angin lembut
membelai padi-padi
dan wajahku yang pasi

pernahkah kau merasa
bahwa perpisahan ini
tidak direstui alam?

sementara, kebersamaan kita
tak direstui manusia kah?

bagaimana sang segala bisa mengaturnya?
bagaimana mungkin ia tidak yakin?
adakah ia bimbang dalam memutuskan?
apakah salah bila aku meragukannya?

bukan

ternyata ini bukan tentang
keraguan terhadapnya
ini keraguanku, pada keyakinanku
tentang rencananya

hati ini sedang mencoba meresapinya
pikiran ini sedang belajar memahaminya
bahwa perpisahan ini ialah pintu
untuk perjalananmu

 

kopi kultur, 2013
segelas kopi dan segelas air putih
saling berpandangan

Tags:
September 28, 2013

Bernard Batubara, Tulisan dan Cinta.

Cinta (dengan titik). Sebuah novel lagi dari Bernard Batubara. Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang heran dengan kecepatan menulis Bara. Bagaimana bisa dia menerbitkan 3+ buku (novel, kumcer dan beberapa partisipasi kumcer) dalam setahun? Dan beberapa orang mungkin bertanya dengan bercanda: sebenarnya Bernard Batubara ini hendak menulis apa; Novel atau Majalah triwulanan?

20130928-174009.jpg
Kata Hati (novel), Milana (kumcer), dan kemudian Cinta dengan titik terbit hampir dalam waktu setahun, belum lagi draft novelnya-Perempuan Victorinox-sudah menunggu untuk diterbitkan. Entah harus bangga karena memiliki teman yang produktif atau merasa terancam dengan produktifitas Bara dalam menulis. Karena terus terang, dengan banyaknya buku yang Bara tulis, saya merasa harus mengejar produktifitas Bara ini. Meminjam kata-kata Adimas Immanuel, “minimal harus bikin Buku satu sebelum mati, atau sebelum rak buku Gramedia dipenuhi buku-buku Bernard Batubara”. Hahaha.
Cinta dengan Titik. Konsep kisah cinta Nessa dan Demas mungkin sudah sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari (yang jarang kita akui) dan buku-buku sejenis. Membahas kisah cinta segi empat sederhana jika kita pikir-pikir lagi, sebenarnya bukan hal yang mudah dituliskan. Cinta segitiga saja (seperti di buku pertama saya: Pilihan Hati) sudah sedemikian rumit (untuk saya). Pada buku ini, Bara dengan cermat menyentuh kedalaman hati saya–dan mungkin juga pembaca lain–tentang hal-hal traumatis yang sering kali melandasi akar berpikir kita dalam menentukan arah kisah cinta kita selanjutnya.
Mengamati perkembangan menulis Bara sejak Kata Hati, kemudian Milana, dan Cinta dengan Titik; saya harus salut kepada proses yang telah dia jalani. Selain kedisiplinannya menuliskan setiap ide yang berkembang di kepalanya dan mengembangkannya jadi sebuah cerita, dia punya rasa yang bagus sekali untuk diperbincangkan. Dulu saya tidak percaya penulis puisi (ya, Bara yang saya kenal dulu sebagai penulis puisi), bisa menulis cerita ringan dan minim kerumitan seperti di bukunya Kata Hati. Beberapa orang mungkin meremehkan kekuatan cerita di buku Kata Hati. Ada yang berkomentar bahwa buku itu hanya sekedar tearjerking saja. Meski saya sendiri merasa buku itu tidak mencerminkan kualitas tulisan Bara sesungguhnya, namun Kata Hati mengalir seperti sungai yang tak bercabang. Membawa saya begitu tenang membacanya hingga tidak sadar saya sudah menyelesaikannya tanpa sempat berhenti. Saya memuji Kata Hati, karena untuk saya, menulis cerita sederhana itu susah. Kesulitan Bara untuk move-on terasa dalam ruang pikiran Randi yang disampaikan di buku ini (loh? eh?).
Lalu saya menikmati sekali Milana.
Milana dan Are. Sebagai pecinta puisi, saya amat menikmati bagaimana kisah-kisah di buku Milana dituliskan. Tidak kurang dan tidak berlebihan. Kumpulan cerpen ini mengingatkan lagi bagaimana Bara, meski tidak selalu penuh dengan metafora yang berat, hawa puitis merasuki setiap cerita yang tertulis di sana. Dan sekali lagi, saya bingung bagaimana mengimbangi kemampuan Bara dalam reproduksi tulisan. Kenapa? Karena salah satu cerpen dalam kumcer Milana tengah dikembangkan menjadi sebuah novel. Bara – Bli Adit: tiga – satu.
Lalu terbitlah Cinta dengan Titik. Dan saya adalah malam yang dikejutkan kokok ayam yang terlalu cepat. Di tengah kegiatan saya merancang buku kedua saya, buku ini malah diperkenalkan kepada saya sebagai buku ketiga Bara. Padahal terus terang saya hendak mengantisipasi pengembangan Milana. Tapi romansa Nessa dan Demas sedikit banyak memberi saya pengingat tentang bagaimana dunia tulis-menulis (dan deadline tulisan–editor saya pasti sudah marah-marah nih), puisi dan rayu-rayuan kecil itu amat menyenangkan. Saya jadi rindu mengalamatkan kata-kata gombal ringan dan puisi-puisi kepada pipi seorang perempuan. Besok cari pacar ah!

Demikianlah, Cinta dengan Titik sudah menancapkan batu perjalanan Bara di dunia sastra Indonesia. Tentu saja kita semua harus turut gembira dan merayakan pencapaiannya. Namun meski demikian kita semua (termasuk saya) musti jengah dengan fenomena ini. Bara kerap membuat saya bercermin lagi tentang komitmen saya kepada diri sendiri dan dunia penulisan Indonesia: mau jadi pembaca terus atau jadi kontributor (penulis)?
Curhat sedikit, saya sudah hampir setahun berusaha merampungkan buku kedua saya. Kesibukan kami yang berbeda nampaknya bisa jadi bahan pertimbangan kenapa buku Bara jadi lebih banyak. Saya yang serius mencari pendamping hidup tentu jangan dibandingkan dengan Bara yang hanya menulis sambil minta twitpic followers perempuannya. Dasar tukang modus, hih!
Meski begitu, nampaknya kedisiplinan Bara dalam menulis akan selalu jadi bahan ejekan yang mutlak akan terjadi pada setiap pertemuan kami selanjutnya.
“Eh, Bli, mau baca draft buku ke-sekian saya nggak?” –– “APAAAAAH?”

20130928-174030.jpg
Denpasar, September 2013
Putu Aditya

PS: ilustrasi oleh @diladifa

September 26, 2013

Tulis Puisi dan Pengalaman

Selamat Malam,

Kemarin, dalam rangka ulang tahun saya yang keduapuluhsembilan, saya mengadakan sebuah kuis yang sesuai dengan kesukaan saya di timeline akhir-akhir ini.

#TulisPuisi adalah sebuah hashtag movement yang saya adakan untuk teman-teman yang suka menulis puisi. Catat, menulis puisi, bukan mengetiknya. Yak. Menulis puisi pada secarik kertas dan memotretnya, lalu diunggah pada sebuah tweet. Kegiatan seperti ini sering saya lakukan atas dasar kecintaan saya pada puisi, dan sebuah kesadaran kecil tentang bagaimana jarangnya tangan kanan ini saya gunakan untuk menulis.

Untuk saya, menulis adalah melukiskan kata-kata, dan para huruf adalah warnanya. Kedalaman sebuah kalimat–puisi–untuk saya adalah setara dengan pencapaian sebuah lukisan. Kekaguman yang sama sering saya temui pada lukisan-lukisan bapak Made Wianta.

Kembali pada #TulisPuisi, kali ini saya ingin membagi-bagikan beberapa hadiah kepada beberapa akun yang mengikutinya. Dan ada empat tulis puisi yang saya pilih untuk saya beri hadiah buku. Sebagai berikut:

BUrnGJpCcAAm2dc.jpg-large

#TulisPuisi karya @Jeisizzie

xekje

#TulisPuisi karya @Ama_achmad
BUr-1x3CcAAQdj9.jpg-large

#TulisPuisi karya @PritaNababan
BUsDUUmCEAALlfA.jpg-large#TulisPuisi karya @momo_DM

Saya berharap, kebiasaan kita mengetik juga bisa diimbangi dengan kita menulis. Untuk saya, kemudahan yang diberikan oleh keyboard, belum bisa menggantikan asiknya menulis. Meski melelahkan, dan kadang tulisan kita tidak terbaca oleh orang lain, minimal kita telah memberi kata-kata sebuah pengalaman. Apalagi untuk puisi, untuk saya kenikmatan menulis puisi dengan tinta selalu menciptakan keasikan yang unik di pengalaman menulis puisi saya–selain bisik-bisik alam kepada pikiran saya.

Selamat mengalami puisi, teman-teman. Semoga puisi selalu bersama kalian.

 

Kopi Kultur, September 2013

Tags:
September 19, 2013

Batavia (1)

Perjalanan.

Ini bisa jadi sebuah hal yang beberapa orang dambakan selalu dalam hidup mereka. Ada yang ingin jauh dari hal-hal yang biasa mereka lakukan, ada yang ingin melanjutkan pencarian untuk yang mereka sebut rumah, dan ada yang ingin sekedar mengisi halaman instagram mereka dengan foto-foto baru. Apa pun hasil akhirnya, perjalanan selalu mendorong saya untuk mencari hal-hal baru untuk menginspirasi stagnansi yang beku di pikiran saya untuk bergerak. Proses ini yang orang-orang (termasuk saya) sebut dengan pencarian–bukan karena tersesat– tapi karena sebuah hal kadang baru kita mengerti kebutuhannya (atau keberadaannya) justru hal tersebut ditemukan.

Perjalanan. Bulan lalu, saya menjalani sebuah perjalanan ke-sekian menuju Batavia. Saya tidak suka menyebutnya Jakarta. Setiap orang bertanya mungkin akan saya katakan dengan Jakarta, tapi di kepala saya selalu otomatis tertulis Batavia. Teman-teman selalu berkelakar tentang bagaimana saya justru berselancar ke Batavia, sementara orang-orang dari Batavia malah berlomba-lomba berlibur ke Bali. Kadang saya meminta mereka menganggap saja bahwa ini pertukaran pelajar (atau pertukaran orang stress, silahkan).

Saya suka ke Batavia. Tapi hanya sekedar liburan saja. Jika orang-orang Batavia menganggap liburan mereka ke Bali adalah untuk melepas stress dan mencari santai, pelarian dari kepenatan rutinitas mereka; anggap saja saya sebaliknya. Saya datang kemari mencari stress dan melepas santai. Dan ternyata itu adalah hal yang aneh, karena di sini yang terjadi justru sebaliknya.

Saya datang dan merasa amat santai. Mungkin ini adalah pengaruh dari Raja segala kesantaian Jakarta: Tuan Fahrizal Cecep nan Tawakkal. Gaya hidupnya yang amat lifestyle nan full easy man penuh ke-selo-an jadi soko guru bagi setiap aspek kehidupan saya. (tentu saja, saya salah satu followersnya hahaha). Tentu saja ini berkaitan pada pertemuan dengan teman-teman baik yang tadinya hanya saya lihat akunnya saya di timeline, hingga reuni-reuni kecil dengan sahabat lama.

read more »