Bernard Batubara, Tulisan dan Cinta.

Cinta (dengan titik). Sebuah novel lagi dari Bernard Batubara. Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang heran dengan kecepatan menulis Bara. Bagaimana bisa dia menerbitkan 3+ buku (novel, kumcer dan beberapa partisipasi kumcer) dalam setahun? Dan beberapa orang mungkin bertanya dengan bercanda: sebenarnya Bernard Batubara ini hendak menulis apa; Novel atau Majalah triwulanan?

20130928-174009.jpg
Kata Hati (novel), Milana (kumcer), dan kemudian Cinta dengan titik terbit hampir dalam waktu setahun, belum lagi draft novelnya-Perempuan Victorinox-sudah menunggu untuk diterbitkan. Entah harus bangga karena memiliki teman yang produktif atau merasa terancam dengan produktifitas Bara dalam menulis. Karena terus terang, dengan banyaknya buku yang Bara tulis, saya merasa harus mengejar produktifitas Bara ini. Meminjam kata-kata Adimas Immanuel, “minimal harus bikin Buku satu sebelum mati, atau sebelum rak buku Gramedia dipenuhi buku-buku Bernard Batubara”. Hahaha.
Cinta dengan Titik. Konsep kisah cinta Nessa dan Demas mungkin sudah sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari (yang jarang kita akui) dan buku-buku sejenis. Membahas kisah cinta segi empat sederhana jika kita pikir-pikir lagi, sebenarnya bukan hal yang mudah dituliskan. Cinta segitiga saja (seperti di buku pertama saya: Pilihan Hati) sudah sedemikian rumit (untuk saya). Pada buku ini, Bara dengan cermat menyentuh kedalaman hati saya–dan mungkin juga pembaca lain–tentang hal-hal traumatis yang sering kali melandasi akar berpikir kita dalam menentukan arah kisah cinta kita selanjutnya.
Mengamati perkembangan menulis Bara sejak Kata Hati, kemudian Milana, dan Cinta dengan Titik; saya harus salut kepada proses yang telah dia jalani. Selain kedisiplinannya menuliskan setiap ide yang berkembang di kepalanya dan mengembangkannya jadi sebuah cerita, dia punya rasa yang bagus sekali untuk diperbincangkan. Dulu saya tidak percaya penulis puisi (ya, Bara yang saya kenal dulu sebagai penulis puisi), bisa menulis cerita ringan dan minim kerumitan seperti di bukunya Kata Hati. Beberapa orang mungkin meremehkan kekuatan cerita di buku Kata Hati. Ada yang berkomentar bahwa buku itu hanya sekedar tearjerking saja. Meski saya sendiri merasa buku itu tidak mencerminkan kualitas tulisan Bara sesungguhnya, namun Kata Hati mengalir seperti sungai yang tak bercabang. Membawa saya begitu tenang membacanya hingga tidak sadar saya sudah menyelesaikannya tanpa sempat berhenti. Saya memuji Kata Hati, karena untuk saya, menulis cerita sederhana itu susah. Kesulitan Bara untuk move-on terasa dalam ruang pikiran Randi yang disampaikan di buku ini (loh? eh?).
Lalu saya menikmati sekali Milana.
Milana dan Are. Sebagai pecinta puisi, saya amat menikmati bagaimana kisah-kisah di buku Milana dituliskan. Tidak kurang dan tidak berlebihan. Kumpulan cerpen ini mengingatkan lagi bagaimana Bara, meski tidak selalu penuh dengan metafora yang berat, hawa puitis merasuki setiap cerita yang tertulis di sana. Dan sekali lagi, saya bingung bagaimana mengimbangi kemampuan Bara dalam reproduksi tulisan. Kenapa? Karena salah satu cerpen dalam kumcer Milana tengah dikembangkan menjadi sebuah novel. Bara – Bli Adit: tiga – satu.
Lalu terbitlah Cinta dengan Titik. Dan saya adalah malam yang dikejutkan kokok ayam yang terlalu cepat. Di tengah kegiatan saya merancang buku kedua saya, buku ini malah diperkenalkan kepada saya sebagai buku ketiga Bara. Padahal terus terang saya hendak mengantisipasi pengembangan Milana. Tapi romansa Nessa dan Demas sedikit banyak memberi saya pengingat tentang bagaimana dunia tulis-menulis (dan deadline tulisan–editor saya pasti sudah marah-marah nih), puisi dan rayu-rayuan kecil itu amat menyenangkan. Saya jadi rindu mengalamatkan kata-kata gombal ringan dan puisi-puisi kepada pipi seorang perempuan. Besok cari pacar ah!

Demikianlah, Cinta dengan Titik sudah menancapkan batu perjalanan Bara di dunia sastra Indonesia. Tentu saja kita semua harus turut gembira dan merayakan pencapaiannya. Namun meski demikian kita semua (termasuk saya) musti jengah dengan fenomena ini. Bara kerap membuat saya bercermin lagi tentang komitmen saya kepada diri sendiri dan dunia penulisan Indonesia: mau jadi pembaca terus atau jadi kontributor (penulis)?
Curhat sedikit, saya sudah hampir setahun berusaha merampungkan buku kedua saya. Kesibukan kami yang berbeda nampaknya bisa jadi bahan pertimbangan kenapa buku Bara jadi lebih banyak. Saya yang serius mencari pendamping hidup tentu jangan dibandingkan dengan Bara yang hanya menulis sambil minta twitpic followers perempuannya. Dasar tukang modus, hih!
Meski begitu, nampaknya kedisiplinan Bara dalam menulis akan selalu jadi bahan ejekan yang mutlak akan terjadi pada setiap pertemuan kami selanjutnya.
“Eh, Bli, mau baca draft buku ke-sekian saya nggak?” –– “APAAAAAH?”

20130928-174030.jpg
Denpasar, September 2013
Putu Aditya

PS: ilustrasi oleh @diladifa

One Comment to “Bernard Batubara, Tulisan dan Cinta.”

  1. Okeeeehhh….tertancap dengan amat sangat jelas dan tajam di dalam sanubariku ini, mas dan bli semua… -___-‘
    Mau terus jadi pembaca atau mau jadi penulis beneran? Maaf, sepertinya kesibukan saya diantara kita ini sepertinya yang paling aduhay. Karena aku juga kan sambil kuliah, mengurus teater dan anak-anaknya di kampus, merapikan buku di perpustakaan, mengobrak-abrik isi kasur kapuk di kamar, sambil beres-beres rumah, sambil jemur pakaian, sambil nyikat domba dan sambil mengukur jalan aspal di dunia dengan memakai sendol kopi. ‘3’
    Makanya saya lama kelar nulisnya….

Leave a comment