Posts tagged ‘#CerpenPeterpan’

July 28, 2012

Langkah yang Terhenti

Di bawah hujanan tatap tajam para pelayat, aku berjalan menjauhi nisan itu. Petir sesekali berkelebat cepat, menghentikan sejenak bisik-bisik di kerumunan kiri dan kananku; yang kemudian berlanjut lagi mengisi sunyi. Namun seperti halusinasi, kudengar lirih suara berbisik lembut di telingaku. Suaranya merdu, mulai melagu di kepalaku.

Tak perlu dengar kata mereka, teruslah berjalan.

TELEPON

Suara ringtone mengganggu lamunanku, nama yang tertera di kolom pemanggil ternyata merengek minta diangkat. Maka kuraih cepat-cepat demi mengusir berisik.

“Ya?”

“Jemput aku di depan gang, sekarang.”

“Lho, kenapa?”

“Pokoknya jemput aku sekarang, kamu belum jauh kan?”

“Iya, belum jauh. Tapi tidak, aku tidak akan kembali.”

“Aku kabur dari rumah. Jika kamu tidak kembali kemari menjemputku, aku akan panggil taksi dan kamu tidak akan mendengar kabar apa-apa lagi, begitu juga keluargaku.”

“Ancaman macam apa itu?”

“Ini serius.”

Sekeras-kerasnya hati seorang pria, luluh juga diancam wanita. Entah cinta, entah terpaksa, entah takut kehilangan. Meski begitu, sebenarnya kalimat-kalimatnya barusan tidak terdengar seperti sebuah paksaan atau sebuah simbol kekuasaan. Sebaliknya, malah menyenangkan mendengar hentakan itu darinya. Mungkin aku menyandu dia atau mungkin aku menyukai kekuasaannya. Ah, cinta ini mungkin terlalu kuat untuknya.

“Ya sudah, tunggu.” Aku menutup telepon.

Edan.

Belum sepuluh kilometer aku keluar dari perumahan elite ini, aku terpaksa memutar jalan kembali. Hujan rintik-rintik, kelokan demi kelokan yang sudah aku hapal diluar kepala, kueksekusi dengan halus.

Di depan gang, setelah belokan ke sekian, seorang gadis menghela nafas panjang setelah mendapati mobil yang kukendarai mendekat. Menghela nafas, membuang segala panik penantiannya di bawah atap toko kecil yang sudah tutup sejak beberapa menit lalu. Namun karena masih terganjal gengsi, garis bibirnya enggan tersenyum.

Brak! Dia masuk serusuh-rusuhnya, kemudian membanting pintu mobilku dengan kasar seakan-akan itu perlu. Tidak akan ada pelukan, tidak akan ada cium pipi atau apapun semacamnya, somehow i know.

“Jalan.” Tegasnya, setelah membuang tas besar multifungsi berwarna cokelat ke kursi belakang. Aku ingat tas itu. Dia tidak suka membahasnya. Tas itu satu-satunya tas tidak berlabel yang dia punya. Ironis, tas itu adalah tas paling berguna dibanding satu lemari tas branded yang selama ini dia punya, atau setidaknya seumur hubungan kami. Tidak, dia pasti enggan mengakuinya.

Sunyi menyelip diantara rintik-rintik hujan yang menghantam mobil ini. Diam, sepasang anak muda di dalamnya saling mendiamkan. Cukup lama. Entah bagaimana kami bertahan menghadapi sunyi yang sedemikian panjang ini. Jarak antar lengan kami tak sampai sedepa, entah kenapa seperti berbeda dunia. Lampu-lampu jalan yang kami lewati seakan redup, seperti terbawa sikap kami kepada masing-masing.

“Menurutmu apa kita harus putus?” tanyanya memecah sunyi.

Pertanyaan yang mengejutkan. Baru saja petir sepertinya menyambar, dan yang barusan dia tanyakan lebih meledak daripada gelegarnya.

ISTANANYA

Terlalu besar.

Batinku. Kemudian aku menghela nafasku dengan berat; berat sekali. Seperti berusaha mebuang berton-ton pasir yang dibawa pantai menuju bahuku. Aku dan pagar itu sudah pernah bertatap berkali-kali sebelumnya. Ini bukanlah kunjungan pertamaku, namun rasa-rasanya inilah yang paling berat. Pilar-pilar penahan kayu-kayu besar pagar yang biasanya menyapaku akrab tiba-tiba terlihat seperti Goliath yang mengejek David di pertemuan pertama.

Hari ini aku akan bertemu orang penting.

***

Aku sudah di depan. 

Beberapa detik setelahnya, telepon genggamku bergetar sekali karena sent report, dankemudianderap-derap kaki terdengar mendekat. Suara kreot pagar dibuka kemudian menyusul. Dua sisi pagar kayu tebal, yang entah buatan mana perlahan menjauh.

“Hei, ayo masuk.” kata suara dari balik kayu raksasa.

Suaranya menjawab terka-terkaanku dengan diriku sendiri tentang siapa yang akan membukakan pintu. Dia sendiri, bukan pembantunya, membukakan pintu untukku, seperti hari-hari kemarin. Di balik pagar kayu besar tersebut berdiri rumah raksasa yang tua namun berdiri tegap. Cukup angkuh untuk tidak mengucap selamat datang dan memandang sebelah mata. Entah mengapa kesan itu melekat sejak pertama kali aku datang dan mataku berkenalan dengan tembok-tembok lusuh yang dirembesi hujan serta patung-patung dewa Yunani yang berdiri di sayap-sayap tangga, mengiringi setiap langkahku dengan dagu terangkat, tanpa senyum dan suara. Sebuah pintu kayu raksasa berwarna hitam, dengan ukiran kayu tentang perang Troya menyambutku kemudian.

Dia membuka pintu itu, menuntunku menuju ruang tamu yang tidak asing bagiku. Sebuah replika lukisan Perjamuan Terakhir di tembok menyapa akrab. Di sebelahnya sebuah salib emas turut menghuni tembok besar ruang tamu. “Duduk dulu ya, aku panggilkan papa.” Dia menunjuk ke sebuah sofa merah marun yang tersenyum melihatku.

Kita pernah melakukannya di sini.

“Tunggu ya?” Dia langsung beringsut masuk. Itu bukan sebuah pertanyaan.

***

Belum selesai aku menyapa lukisan-lukisan di ruang tamu itu satu per satu, suara derap langkah berat mendekat. Dan ketika aku berbalik, kulihat dia datang bersama seorang lelaki tua yang kukenali sebagai salah satu penghuni lukisan besar berjudul Family. Dia tegap, berambut hitam berkilau karena minyak rambut. Umur meninggalkan jejak-jejak tegas di wajahnya, tak seperti tipuan jaman yang dia lakukan pada rambutnya.

Ini pertama kalinya aku bertemu ayahnya yang menikah dengan seorang wanita Austria, dan sepanjang tahun karena urusan pekerjaan harus tinggal di Vienna. Satu-satunya alasan mengapa dia masih tinggal di Indonesia adalah karena dulu ingin belajar Bahasa Indonesia dan menari Bali. Ayahnya menyalahkan Discovery Channel atas keputusan itu, dan kini menyayangkannya, karena anaknya merasa amat betah di sini.

Rumah ini adalah peninggalan keluarga kakeknya, yang direnovasi lagi setelah kematian kakeknya menjadi bergaya Eropa dangan tujuan jika suatu hari Ibu dan adik-adiknya berkunjung, mereka merasa di rumah.

Rumah.

Dia sering menyebutnya penjara. Kecuali aku datang dan menyogok bli Nyoman-supirnya dengan sebungkus sam-soe serta merelakan motorku dipinjamnya mengapel.

“Ayah, ini Adit.” Suara Sanji membuyarkan lamunanku. “Selamat sore, Pak. Saya Aditya, temannya Sanji.” Aku mendekat setengah berbungkuk menyodorkan tangan. Damn, this is awkward.

Ayah Sanji mendongak, kelopak matanya menyempit, rahangnya bergerak sedikit, kemudian suaranya yang serak mendobrak.

“Iya, saya sudah tahu,” jawabnya singkat, diiringi sebuah gerakan mengangguk yang sepertinya hanya dalam bayanganku saja, kemudian berjalan menuju kursi utama. Langkahnya berat, namun duduk dengan lembut. Bahasa tubuhnya tertata kendali, raut wajahnya kaku dan angkuh. Sekarang aku mengerti siapa dan kenapa dia memilih patung-patung di teras barusan. Sanji mengambil tempat diantara kami, mempersilahkan aku duduk di seberang Ayahnya.

“Kamu Hindu?”

“Iya, Pak.”

“Kerja?”

“Saya, bermain dan mengajar musik.”

“Mengajar privat?”

“Sekolah musik, Pak, dan ya, beberapa privat.”

“Tinggal dimana?”

“Mengontrak rumah, Pak”

“Orang tua?”

Interogasi ini mulai terasa kurang nyaman. Sanji diam saja, seperti tenggelam dalam bimbang, atau entah, mengetahui sesuatu.

“Di desa, Pak.”

“Begini, Adit.” Lelaki itu, Ayah Sanji mulai berbicara dengan nada berbeda. “Saya tidak suka mengatakan semua ini, tapi saya tidak suka kamu berhubungan dengan anak saya. Mulai saat ini, lebih baik kamu tidak lagi berhubungan dengannya.”

Aku ternganga.

Bagaimana bisa anda berkata begitu kepada saya?

Tahukah anda?

Siapa yang menjaga anak anda selama anda di Eropa?

Siapa yang membawakannya makan ketika dia sendiri?
Tahukah anda, kami biasa bercinta di kamar mandi anda?

Tahukah anda tentang kami?

Tentang cinta kami?

Anda tahu apa?

Kata-kata itu tersekat di leherku, tak mampu kualirkan jadi suara. Tatapan tajam Ayahnya membendungnya. Sanji yang kehilangan kata-kata pun mulai terisak pelan-pelan. “Kamu bisa pulang sekarang, terima kasih atas waktunya,” lanjut Ayahnya kepadaku.

“Tapi ayah, Adit orang baik.” Sanji memberanikan diri mencoba memperpanjang umur keberadaanku di sana. “Adit bisa membuat aku bahagia selama ini, kami bisa bahagia bersama-sama.”

“Ayah tidak perlu orang baik, nak. Ayah perlu orang yang menjamin kebahagiaan. Tanpa uang kamu tidak bisa bahagia.” Lelaki itu menutup forum ruang tamu dengan kesimpulan sepihak tanpa tanda-tanda boleh didebat.

Aku dan Sanji terdiam. Forum ini sudah selesai.

***

Aku berjalan menyusuri tangga-tangga kusam, menuju pagar kayu raksasa. Patung-patung itu memandangiku masih dengan angkuhnya. Belum sampai aku di depan gerbang, Sanji berlari menyusulku, kemudian memelukku dari belakang. Langit kemudian mengirim gerimis, konspirasi alam untuk menyamarkan air matanya.

Aku melepaskan rangkulan tangannya di pinggangku, setengah memaksa. Kemudian berbalik menghapus basah di  pipinya. Entah itu air mata, entah hujan.

“Aku pulang dulu, nanti kita bicarakan lagi. Kamu masuklah, temani ayahmu.” Tanpa jawaban darinya, aku berjalan ke luar pagar, kemudian menutupnya. Dari sela-sela pagar kayu raksasa ini, kusaksikan dia berjalan masuk menuju rumahnya. Terkadang aku iri kepada wanita. Mereka punya hak untuk menangis tanpa kehilangan harga diri. Kami, lelaki diharuskan untuk kuat menahan kesedihan, dan sepertinya yang menuliskan hukum alam tersebut sudah mati dimakan gengsi.

Betapa perih, sedih yang tidak mampu ditangiskan. 

KAMARKU

“Apa itu?”

“Kaset.”

“Kaset siapa?”

“Dengar saja dulu.”

“Pasti band nasional, kan?”

Pada masa seperti ini, hanya band nasional yang masih mudah didapatkan albumnya dalam bentuk kaset. Aku, sejujurnya lebih memilih membeli album dalam bentuk CD. Walaupun mahal, telinga lebih merasa nyaman.

Ah, sebenarnya tidak juga. 

Aku terbiasa mengatur apa yang ingin aku dengar dan kebetulan tape player di kamarku, yang juga berisi CD player, menyediakan pilihan untuk men-skip track lagu-lagu yang tidak ingin didengarkan. Pada satu album sebuah band, biasanya ada beberapa single yang hits, dan beberapa single yang layak dengar, serta beberapa single numpang tenar, dan aku selalu skip yang terakhir.

“Asal nanya, ya?” tanyanya.

“Dunno, you tell me.” 

Iya, ini albumnya Peterpan.”

“Wow, oke. But why dont you buy the CD?”

Sanji seharusnya tahu benar kesukaanku akan CD, dan aku yakin dia tahu. Tapi kali ini dia membeli kaset. Untuk apa? Mobilnya hanya berisi CD player. Dia pun tahu aku tak akan mungkin menyetelnya. Aku sama sekali bukan penggemar Peterpan. Dia pun juga.

“Kemarin aku mendengar di radio, ada seorang penelpon memesan lagu ini, aku  terngiang liriknya. Hanya kasetnya yang kutemukan di sini.”

Dia bukan seorang wanita yang mudah suka pada sebuah lagu, apalagi lagu Indonesia. Sebenarnya, kami jarang sekali menyukai lagu-lagu Indonesia, bahkan lagu-lagu bandku, aku tidak pernah memaksanya mendengarkan. Masa-masa pacaran kami diiringi oleh lagu-lagu ballad, atau evergreen love songs. Kami somehow menyukai lirik-lirik puitis yang dipadu apik dalam balutan musik yang asik. Kami pasangan yang sok berselera musik tinggi.

“Nah, ini dia.”

Dia sepertinya mendapatkan lagunya, setelah beberapa kali melakukan rewind-fast forward-mendengarkan-ulang.

Kemudian sebuah riff gitar dan suara synthesizer mendekati telingaku. Tidak asing. Lima detik kemudian suara Ariel membanjiri campuran musik barusan dengan kata-kata.

Kita adalah hati yang tertindas, kitalah langkah yang berhenti berjalan. Kitalah mimpi yang tak terwujudkan, senandungkan nada-nada yang indah.

Aku tidak kuasa menahannya, satu sudut bibirku terangkat. Setelah itu fill in dari drum masuk tiba-tiba, dan disambut gebrakan musik dari full band. Sebuah intro, dan aku merasa geli.

Aku merebahkan diri di ranjangku, menahan diri. Sanji nampak khusyuk membaca lirik yang dia temukan di cover kaset itu. Setelah beberapa reff yang diulang, dan coda yang diwarnai sayatan string ensemble, sebuah riff menutup lagu itu. Stop. Kemudian Sanji me-rewind-nya kembali ke awal.

“Bagaimana pendapatmu?” celetuknya, kemudian menoleh kepadaku.

Well, Aku sebenarnya tidak begitu menyukai Peterpan. Namun aku mengakui lirik-lirik yang ditulis Ariel, adalah lirik yang ditulis dengan sebuah pemikiran. Berisi.”

“Dia tidak secara gamblang menyampaikan apa yang ingin dia maksud. Dia mengajak pembacanya merenungi sesuatu, tentang apa yang dia pikirkan. Dia memberikan ruang interpretasi bagi pendengarnya. Lagu ini, lagu yang kamu sukai, adalah lagu yang cukup dalam dan multi tafsir,” lanjutku.

“Tapi sayang..”

“Apa?”

“Lagu ini aransemennya ada kemiripan dengan lagu luar negeri lho. Hanya pendapatku sih. Tapi jika kamu perhatikan, intro kedua, dimana semua band masuk, mirip sekali dengan lagu berjudul Move Along milik All American Rejects. Kamu pernah dengar?”

“Ah, kenapa sih kamu selalu menemukan kemiripan setiap lagu dengan lagu lain?” tandasnya, agak kesal. “Kenyataannya aransemen kedua lagu ini memang mirip. Dan pesan lagunya juga hampir sama, seperti mirip. Atau mungkin dimirip-miripkan, tapi aku tidak percaya Ariel begitu.” lanjutku setengah tertawa.

Dia kemudian naik ke ranjang, buru-buru. Mengamit lenganku. Aku terpaksa bergeser demi beberapa ruang untuknya di ranjang kecil ini. Dia lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Entah mengapa tiba-tiba aura kesedihan terasa begitu kuat darinya. Kamar ini tiba-tiba meremang, lampu neonku yang cemerlang tiba-tiba redup. Sunyi.

“Apa judulnya tadi?”

“Melawan Dunia.”

Kita memahami yang sesungguhnya, 

dan tak harus menjelaskan semua. 

Tanpa pedulikan kata mereka, 

kita berjalan melawan dunia.

Hanya bisa bicara,

mereka tak beri jawaban.

MOBIL

Rintik hujan masih mengiringi kami. Setelah dia memecahkan kebisuan barusan dengan pertanyaannya yang gelegar, kesunyian kembali mengisi celah-celah rintik hujan dan jarak diantara kami. Meski demikian, pertanyaan barusan mengisi ruang kepalaku. Aku tidak biasa mendapatkan pertanyaan seperti itu beberapa tahun ini.

“Kenapa kita harus putus? Kita bisa backstreet.”

“Sampai kapan?”

“Sampai maut memisahkan kita.”

“Aku serius.”

“Aku pun. Kamu mau melawan dunia bersamaku?”

Kami saling berpandangan. Inilah momen yang aku tahu akan memenangkan senyumnya. Namun belum sampai setengah sudut bibirnya terangkat, anggukannya belum penuh, sebuah bunyi yang amat tajam tiba-tiba mengganggu telinga. Ketika aku menoleh, beberapa meter di depan, sebuah truk bergerak liar tanpa kendali, mendekat dengan cepat.

Lalu gelap.

***

Suara-suara. Hiruk pikuk.
Sirene yang mendekat.
Orang-orang yang panik.
Cepat keluarkan lelakinya!
Wanitanya terjepit!

Pandanganku, kabur.
Sa..ss..san..

Aku berusaha menggapai-gapai dengan sisa tenagaku. Namun kurasakan tubuhku diseret lengan-lengan yang kuat, aku tak mampu melawan. Kurasakan tubuhku dibaringkan dan belum sempat aku berkata apa-apa, sesuatu menutupi mulutku. Aliran udara mengalir deras.

Aku terbuai, dijejali kegelapan.

MENDUNG

Siang itu mendung. Dengan beberapa batang bunga di tangan, aku berjalan mendekatinya. Beberapa orang berpakaian hitam di sekitarku memandangiku, aku tidak peduli. Seorang lelaki tua kulewati, yang kukenali sebagai ayahnya, aku tidak peduli.

Sanji..

Aku membelainya dengan lembut, penuh kerinduan. Kuletakkan bunga-bunga kesukaannya di atasnya, kemudian kusentuh lembut nama yang terukir di nisan itu.

Hujan mengerti benar kesedihan ini, lalu menjatuhkan diri bersama.

dps2012

In Memoriam Ariani Sanjivani