betapa,
luka-luka menenun segala senyumnya
dan pada duka, ia muarakan air mata
barangkali dia tidak percaya kata-kata
karena kata-kata sering mengingkarinya
menciptakan jarak, untuk ditangisi sendiri
mengobarkan cemburu, yang menghanguskan sendiri
menciptakan rindu, untuk diratapi sendiri
menoreh luka pada tubuhnya, yang lalu disesali
bahwa rasa sakit, baginya adalah candu
ketiada-bahagiaan, menyenangkan bawah sadarnya
dan ketika kesendirian mengutuknya,
dia mulai menyukainya
barangkali dia menyukai dusta
karena dusta menentramkan ketidakpastian
seperti dia menyukai hujan
karena mereka menderaskan kesedihan
membawa kembali cerita-cerita
tenggelam dalam air mata
seperti dia menikmati tembakau
ketika bara membakarnya
menikmati setiap hembus asap
dan nikotin memangkas umur
dia, wanita pecandu luka
dilupakan dunia yang ia lipur makian
ditinggalkan asa yang dia tebas sendiri
dps 2012
tulisan ini, saya lanjutkan dari tulisan
Ruth Dian Kurniasari – Kepada Wanita yang Menyandu Luka