Archive for March, 2012

March 27, 2012

Tentang Kakek dan Nenek

Pukul enam pagi di kampung halamannya, asap sudah mengepul tebal dari dapur mereka. Hingga hari ini dia masih tidak mengerti apa yang kakeknya lakukan. Yang dia tahu secangkir teh sudah dibuatkan. Lalu mereka akan berlomba menghabiskannya di atas dua talenan yang mereka duduki. Saat itu neneknya masih di pasar. Berdebat dengan beberapa pedagang tentang kepantasan harga sayuran yang dia akan beli. Entah siapa yang menang. Tetapi neneknya selalu berhasil membawakanya beberapa bungkus kelepon. Satu bungkusnya biasanya berisi lima dan kakek itu selalu mengalah menerima sisa kerakusannya.

Siang hari, anak itu akan bermain alat-alat listrik di toko kakeknya. Menemani beberapa kamera nikon tua yang jadi koleksi di sana. Dulu-hingga kini-Kakeknya ialah fotografer terpandang di desa itu. Kini dia berbagi tugas dengan keponakannya. Sembari menjual alat-alat motor dan listrik, dia menunggui studio foto kecil di natahnya. Anak itu yang akan membangunkannya dari tidur siang, bila ada pelanggan datang, dengan upah lima ratus rupiah per orang.

Kebahagiaan itu hanya dua minggu. Seumur liburan sekolah.

Si kecil Angga, kesayangan mereka. Baru beranjak dari balita. Kerap ditinggalkan orang tuanya bersama mereka. Pernah suatu hari dia terbangun dengan panas yang luar biasa, tanpa seorang pun di sisinya. Orang tuanya masih lincah mencari uang. Entah untuk siapa. Karena anak mereka ditinggalkan sendiri di rumah kecil yang hanya cukup untuk mereka bertiga. Anak itu pun akhirnya tertidur di rumah tetangga, hingga dijemput ayah dan ibunya pada larut malam, saat lelah memulangkan mereka.

Kakek dan nenek itu akhirnya menawarkan diri untuk turut tinggal bersama. Bergantian menjaga cucu mereka. Sebulan sang kakek, bulan kemudian sang nenek. Begitu hingga beberapa musim. Sang kakek, kerap memberikannya uang saku tambahan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sang nenek, senantiasa membuatkannya loloh-ramuan dari kayu manis-yang menjaga tetap bugar bermain layangan dan menempatkannya di peringkat teratas sekolah.

Kebahagiaan itu berumur sepuluh tahun. Seumur dasawarsa.

Suatu hari seseorang berkerudung hitam mengagetkan sang kakek di depan pintu kamar mandi. Dia terjatuh tanpa sempat ditangkap menantu dan cucunya. Si kecil panik. Histerianya berlarian keluar rumahnya. Mengetuk pintu-pintu rumah tetangga. Dosen, dokter, guru tk, teman bermain judi kakeknya. Semua berhamburan menuju rumahnya. Menggotong tubuh yang setengah hidup. Stroke. Begitu kata pak dokter. Malam itu ayahnya tidak pulang, menyusul ibunya dan beberapa warga perumahan mengantar kakeknya ke rumah sakit. Dia menghadapi malam sendiri. Tidurnya nyenyak, tapi bantalnya basah.

Esok paginya, si ayah menelpon pulang. Ibunya masih di dapur. “Kakek sudah meninggal, mana ibumu.” Dia memanggil ibunya, kemudian pergi mandi. Hari itu rumahnya sunyi sekali. Langit pagi tak lagi biru-oranye. Dunianya hitam putih. Tapi dia tidak menangis.

“Jangan sedih terus.”

Seorang perempuan berbisik di sampingnya. Perempuan itu hidup sebagai anak dari adik sang kakek. Perempuan itu menyalakan dupa, lalu memberikan dupa itu kepadanya. “Berdoalah untuk kakekmu.” Tiga batang dupa, tangis nenek di kamarnya dan bunyi ketok palu para warga desa membuatkan kakeknya bade-tempat peti mati-menyamarkan suara tangis. Sesuatu bergerak di dalam kepalanya. Mungkin kesedihan.

Kesedihan itu berlangsung selama 4 jam. Seumur dupa.

Tiga tahun kemudian ayahnya menelpon, mengabarkan bahwa neneknya kritis. Dia segera memacu motornya menuju rumah sakit. Ditemukannya beberapa kerabat mengitari ayah dan ibunya yang menangis. Dia mencuri dengar bahwa mereka perlu menjual mobil untuk membayar operasi. Ibunya menangis tidak karuan. Dia terbelalak bisu. Diantara para kerabat, seseorang berkerudung hitam menangkap matanya. Seseorang yang berkunjung beberapa tahun lalu ke rumahnya. Seseorang yang mengagetkan kakeknya.

Entah apa yang membawanya kemari. Dia ingin mengusirnya segera, tapi para kerabat menganggapnya gila. Membawanya keluar karena terlalu ribut di dalam bangsal dan mengganggu istirahat neneknya. Istirahat yang sama sekali tidak terganggu.

Di pemakaman neneknya dia menghidupkan tiga dupa. Tidak ada keributan yang menyamarkan tangisnya kali ini. Maka dia diam. Mengumpulkannya ke dalam kepala. Merapal emosi dalam kesepian.

Kesepian itu hidup selama sepuluh tahun. Seumur risau di kepalanya.

Dia terbangun dengan badan membara dan nafas tersengal-sengal. Di kepalanya ribuan paku menancap dan dipalukan seseorang-atau sesuatu-yang tak mampu ditangkap matanya. Suaranya tercekat, seakan dicekik gilisah. Di depan pintu kamarnya, keluarganya menggedor-gedor-dia lupa tidak mengunci pintu. Di sudut kamar, seseorang berkerudung hitam tertawa meriah. Kemudian mendekat. Kemudian membelai wajahnya. Kemudian berbisik, bahwa sebuah ciuman akan mendarat kepadanya.

Kemudian gelap.

Dia terhenyak. Suara tangisan ibu dan adiknya mengeja keputusasaan di telinganya. Pandangannya kabur. Sesosok tua membelai wajahnya. Sosok tua lainnya memijat kakinya. “Katakan bahwa kalian menjemputku.” Kakek-neneknya menggeleng. Hujan kemudian riuh di jendela kamarnya. Angin mengetuk-ngetuk dengan bingar. Orang tuanya masih menangis di depan pintu kamar. Handphone berdering-dering mencoba membangunkan. “Aku lelah, bawa aku.” Kakek dan neneknya menggeleng. Kemudian bergantian mengecup kening cucunya. Lalu hilang. Beberapa saat kemudian dia membuka pintu kamarnya, disambut peluk ibu dan adiknya. Ayah mengajaknya ke dokter. Dia menggeleng, lalu berkata bahwa dia tidak apa-apa.

Keabsurdan itu masih berlangsung di kepalanya. Mengiringi sisa umur yang dijalaninya.

 

 

Denpasar, 23 Maret 2012
Mengenang Nyoman Pucangan dan Putu Seji.

Tags:
March 17, 2012

Yang selalu ingin kukatakan kepadamu.

Seandainya kamu tahu,
bagaimana badai di hatiku saat pertama kali senyummu,
bertamu di serambi pikiranku.

Seandainya kamu mengerti,
bagaimana aku ingin selalu bersamamu menjadi kita,
ketika tatap matamu menjatuhkan hati.

Seandainya kamu mengerti,
bagaimana kamu dan pelukanmu,
menghadirkan kembali hangat perapian ruang hati.

Seandainya kamu mengerti, betapa aku ingin jadi alasan kamu tersenyum ceria, dan juga segala air mata, sedih maupun bahagia.

Seandainya kamu mengerti, bagaimana aku ingin mencintai kehidupan kita,
bahkan kehidupan lain setelahnya.

Seandainya kamu mengerti, bagaimana erat genggamku, kala aku dan maut bernegosiasi
demi umurmu satu hari lagi untuk kucintai.

“Hingga maut memisahkan kita.”
Tak kusadari betapa ia begitu dekat.

Baik-baik disana, sayang.
Aku mencintaimu.

Tags: