November 2, 2013

Movember

Sejak beberapa hari yang lalu saya berpikir, mengapa Tuhan memberi ujian-ujian yang menurutnya bisa saya hadapi sendiri? Saya kerap kali bercermin dan memperhatikan lengan saya yang kecil, lingkar pergelangan saya yang kurus dan dada saya yang tidak bidang. Sungguh, saya tidak merasa cukup baik secara fisik untuk meminta seorang perempuan memperjuangkan saya.

Apa hubungannya ya, ketiga kalimat di atas? Bila boleh saya sesekali curhat, ketiga kalimat di atas adalah rangkuman perjalanan hidup saya selama ini.

Teman-teman saya kerap mengingatkan saya untuk tidak terlalu lama tenggelam di kenangan masa lalu. Ya, mereka benar. Tidak seharusnya manusia terlalu lama larut di gelapnya kenangan masa lalu. Karena hidup dijalani ke depan, dan saya terlalu lama bercermin ke belakang. 

Beberapa kali saya berusaha menilik ulang, hal-hal apakah yang sesungguhnya menenggelamkan saya sekian lama? Karena sedemikian banyak pencapaian yang saya raih, saya tidak pernah merayakannya dengan baik, atau paling tidak: merasa benar-benar bahagia tanpa beban. Jawabannya banyak saya temukan pada blog ini. Pada hal-hal yang sering saya tulis.

Apa yang saya tulis di sini selama ini tidak akan saya akui sebagai pengalaman sendiri. Dan memang beberapa di antaranya bukan pengalaman sendiri. Namun saya khawatir pada alur dan gaya bahasa yang saya anut. Pekat dan satir. Beberapa di antaranya bahkan penuh dengan kebencian. Beberapa teman bahkan bertanya tentang sebegitu mendendamnya-kah saya terhadap perempuan? Terutama perempuan yang sempat menyakiti saya dan menanam luka yang hingga kini tak kunjung sembuh? Saya kerap kali tersenyum kepada mereka, dan mereka tahu itu bukan senyum bahagia. Continue reading

October 27, 2013

Infeksi

Aku pernah jadi seorang pemuda yang bodoh. Mengira cinta bisa memberiku bahagia yang amat luar biasa. Hingga aku pandir, sayang. Aku merasa kau datang dan akan menghadiahkan aku senyum setiap hari. Cinta membuatku lupa bahwa harum bunga pun memiliki umurnya.
 
Karenamu aku jadi lupa diri. Ada masa ketika cinta membuatku merasa seperti pelukis. Bagaimana palet warna tiba-tiba muncul di sudut mataku dan telunjukku merasa dirinya adalah kuas yang bisa berubah ukuran dengan sendirinya. Dan lihat, aku melukismu di langit setiap hari.
 
Karenamu aku sering lupa diri. Tak cukup jadi pelukis, aku pun sering merasa diri seorang komposer. Heran, bagaimana bisa aku membuat musik sendiri tanpa belajar musik terlebih dahulu. Entah bagaimana telinga ini memperbaiki setiap kata-katamu jadi lagu, dan selalu indah-indah saja, sayang. Dan dengarkan, aku menyanyikanmu setiap hari.
Aku dan kebodohan kecilku. Terbodohi hingga segala bahagia menemukan muaranya. Hingga aku menemukanmu dengannya pun, aku masih berusaha memaafkanmu, dan mendoktrin diriku sendiri bahwa kekhilafanmu adalah salahku, yang tidak cukup baik membalas cintamu.
 
Ayah pernah mengatakan kepadaku, bahwa cinta tidak selamanya indah. Dan kau tahu sendiri bagaimana anak lelaki dan ayahnya yang selalu bertentangan. Sampai kau pergi, aku masih merasa ayah adalah seorang pembohong, dan kepergianmu dengannya adalah sepenuhnya salahku.
 
Lihat bagaimana cinta memperlakukanku, sayang. Lihat bagaimana aku menyayat-nyayat pikiranku dengan kebencian yang muskil. Lihat bagaimana luka-luka ini bersembunyi setiap kau datang lagi dan tersenyum tanpa dosa; seakan-akan aku tidak akan membunuhmu ketika kau datang kembali meminta peluk.
 
Kau menanam luka di tubuhku, namun tak hendak menuainya sebagai kebencian. Kau menanam derita di pikiranku, dan tak mau menerima kesakitanku. Kau menanamkan pada hatiku segala ketimpangan yang cinta sembunyikan, dan tidakkah kau menyadari kini bahwa dendam adalah infeksi abadi bagi seorang pencinta yang cacat?
 
Lihat aku, hai perempuan, dan jawab pertanyaanku:
 
Bagaimana kau mencintaiku kini?
 
 
Kopi Kultur, Denpasar 2013
Entah mengapa para ikan menatapku dari bawah
October 27, 2013

Pikirkan

:vanilla

Bila kau pikir cinta mengobatimu
dari segala luka hati
pikir sekali lagi

Bila kau pikir cinta senantiasa memaafkan
segala kesalahan dan melupakan
pikir sekali lagi

Bila kau sangka cinta memberi jawaban
atas segala pertanyaan
pikir sekali lagi

Bila kau pikir cinta selalu membahagiakan
dan tak akan menyakitkan
pikir sekali lagi

Bila kau pikirkan senyumnya sepanjang hari
dan kau pikir kau telah jatuh cinta,

jangan berpikir

 

Kopi Kultur, Oktober 2013

October 11, 2013

Malam Ini, Saya Menulis Sebuah Puisi Untukmu

Pada kebahagiaanmu, kakiku meminjam sendi. Pada senyummu, wajahku meminjam cahaya. Hari ini aku dan kamu menunggu mantra-mantra titipan masa lalu menyatukan dua jadi satu. Aku dan kamu jadi kita, kaki-kaki rindu jadi cinta; gelap jadi cahaya.

Adalah malam-malam tanpa lawan bicara yang akhirnya memaksaku bercengkrama kepada kesepian, yang jadi satu dengan sendiriku. Menulis kata-kata tanpa makna, sekedar jadi teman untuk membangun keramaian.

Ingin lebih dalam, aku menyerahkan diri kepada sastra–namun kehidupan nempaknya memaksaku untuk menggali lebih dalam; makna-makna yang ia sembunyikan.

Maka aku–bersama beberapa gelas kopi–datang kepadamu, di dalam pikiranku bercengkrama atas nama sepi; tudung segala rindu, yang tahan segala uji dan menolak segala puji.

Bandara Ngurah Rai, 13 Sep 2013
Bersama beberapa gelas kopi.

 

20131011-201449.jpg20131011-201529.jpg

 

Tags:
September 30, 2013

kepada yang akan pergi

awan hitam merendah
mengirim angin lembut
membelai padi-padi
dan wajahku yang pasi

pernahkah kau merasa
bahwa perpisahan ini
tidak direstui alam?

sementara, kebersamaan kita
tak direstui manusia kah?

bagaimana sang segala bisa mengaturnya?
bagaimana mungkin ia tidak yakin?
adakah ia bimbang dalam memutuskan?
apakah salah bila aku meragukannya?

bukan

ternyata ini bukan tentang
keraguan terhadapnya
ini keraguanku, pada keyakinanku
tentang rencananya

hati ini sedang mencoba meresapinya
pikiran ini sedang belajar memahaminya
bahwa perpisahan ini ialah pintu
untuk perjalananmu

 

kopi kultur, 2013
segelas kopi dan segelas air putih
saling berpandangan

Tags:
September 28, 2013

Bernard Batubara, Tulisan dan Cinta.

Cinta (dengan titik). Sebuah novel lagi dari Bernard Batubara. Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang heran dengan kecepatan menulis Bara. Bagaimana bisa dia menerbitkan 3+ buku (novel, kumcer dan beberapa partisipasi kumcer) dalam setahun? Dan beberapa orang mungkin bertanya dengan bercanda: sebenarnya Bernard Batubara ini hendak menulis apa; Novel atau Majalah triwulanan?

20130928-174009.jpg
Kata Hati (novel), Milana (kumcer), dan kemudian Cinta dengan titik terbit hampir dalam waktu setahun, belum lagi draft novelnya-Perempuan Victorinox-sudah menunggu untuk diterbitkan. Entah harus bangga karena memiliki teman yang produktif atau merasa terancam dengan produktifitas Bara dalam menulis. Karena terus terang, dengan banyaknya buku yang Bara tulis, saya merasa harus mengejar produktifitas Bara ini. Meminjam kata-kata Adimas Immanuel, “minimal harus bikin Buku satu sebelum mati, atau sebelum rak buku Gramedia dipenuhi buku-buku Bernard Batubara”. Hahaha.
Cinta dengan Titik. Konsep kisah cinta Nessa dan Demas mungkin sudah sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari (yang jarang kita akui) dan buku-buku sejenis. Membahas kisah cinta segi empat sederhana jika kita pikir-pikir lagi, sebenarnya bukan hal yang mudah dituliskan. Cinta segitiga saja (seperti di buku pertama saya: Pilihan Hati) sudah sedemikian rumit (untuk saya). Pada buku ini, Bara dengan cermat menyentuh kedalaman hati saya–dan mungkin juga pembaca lain–tentang hal-hal traumatis yang sering kali melandasi akar berpikir kita dalam menentukan arah kisah cinta kita selanjutnya.
Mengamati perkembangan menulis Bara sejak Kata Hati, kemudian Milana, dan Cinta dengan Titik; saya harus salut kepada proses yang telah dia jalani. Selain kedisiplinannya menuliskan setiap ide yang berkembang di kepalanya dan mengembangkannya jadi sebuah cerita, dia punya rasa yang bagus sekali untuk diperbincangkan. Dulu saya tidak percaya penulis puisi (ya, Bara yang saya kenal dulu sebagai penulis puisi), bisa menulis cerita ringan dan minim kerumitan seperti di bukunya Kata Hati. Beberapa orang mungkin meremehkan kekuatan cerita di buku Kata Hati. Ada yang berkomentar bahwa buku itu hanya sekedar tearjerking saja. Meski saya sendiri merasa buku itu tidak mencerminkan kualitas tulisan Bara sesungguhnya, namun Kata Hati mengalir seperti sungai yang tak bercabang. Membawa saya begitu tenang membacanya hingga tidak sadar saya sudah menyelesaikannya tanpa sempat berhenti. Saya memuji Kata Hati, karena untuk saya, menulis cerita sederhana itu susah. Kesulitan Bara untuk move-on terasa dalam ruang pikiran Randi yang disampaikan di buku ini (loh? eh?).
Lalu saya menikmati sekali Milana.
Milana dan Are. Sebagai pecinta puisi, saya amat menikmati bagaimana kisah-kisah di buku Milana dituliskan. Tidak kurang dan tidak berlebihan. Kumpulan cerpen ini mengingatkan lagi bagaimana Bara, meski tidak selalu penuh dengan metafora yang berat, hawa puitis merasuki setiap cerita yang tertulis di sana. Dan sekali lagi, saya bingung bagaimana mengimbangi kemampuan Bara dalam reproduksi tulisan. Kenapa? Karena salah satu cerpen dalam kumcer Milana tengah dikembangkan menjadi sebuah novel. Bara – Bli Adit: tiga – satu.
Lalu terbitlah Cinta dengan Titik. Dan saya adalah malam yang dikejutkan kokok ayam yang terlalu cepat. Di tengah kegiatan saya merancang buku kedua saya, buku ini malah diperkenalkan kepada saya sebagai buku ketiga Bara. Padahal terus terang saya hendak mengantisipasi pengembangan Milana. Tapi romansa Nessa dan Demas sedikit banyak memberi saya pengingat tentang bagaimana dunia tulis-menulis (dan deadline tulisan–editor saya pasti sudah marah-marah nih), puisi dan rayu-rayuan kecil itu amat menyenangkan. Saya jadi rindu mengalamatkan kata-kata gombal ringan dan puisi-puisi kepada pipi seorang perempuan. Besok cari pacar ah!

Demikianlah, Cinta dengan Titik sudah menancapkan batu perjalanan Bara di dunia sastra Indonesia. Tentu saja kita semua harus turut gembira dan merayakan pencapaiannya. Namun meski demikian kita semua (termasuk saya) musti jengah dengan fenomena ini. Bara kerap membuat saya bercermin lagi tentang komitmen saya kepada diri sendiri dan dunia penulisan Indonesia: mau jadi pembaca terus atau jadi kontributor (penulis)?
Curhat sedikit, saya sudah hampir setahun berusaha merampungkan buku kedua saya. Kesibukan kami yang berbeda nampaknya bisa jadi bahan pertimbangan kenapa buku Bara jadi lebih banyak. Saya yang serius mencari pendamping hidup tentu jangan dibandingkan dengan Bara yang hanya menulis sambil minta twitpic followers perempuannya. Dasar tukang modus, hih!
Meski begitu, nampaknya kedisiplinan Bara dalam menulis akan selalu jadi bahan ejekan yang mutlak akan terjadi pada setiap pertemuan kami selanjutnya.
“Eh, Bli, mau baca draft buku ke-sekian saya nggak?” –– “APAAAAAH?”

20130928-174030.jpg
Denpasar, September 2013
Putu Aditya

PS: ilustrasi oleh @diladifa

September 26, 2013

Tulis Puisi dan Pengalaman

Selamat Malam,

Kemarin, dalam rangka ulang tahun saya yang keduapuluhsembilan, saya mengadakan sebuah kuis yang sesuai dengan kesukaan saya di timeline akhir-akhir ini.

#TulisPuisi adalah sebuah hashtag movement yang saya adakan untuk teman-teman yang suka menulis puisi. Catat, menulis puisi, bukan mengetiknya. Yak. Menulis puisi pada secarik kertas dan memotretnya, lalu diunggah pada sebuah tweet. Kegiatan seperti ini sering saya lakukan atas dasar kecintaan saya pada puisi, dan sebuah kesadaran kecil tentang bagaimana jarangnya tangan kanan ini saya gunakan untuk menulis.

Untuk saya, menulis adalah melukiskan kata-kata, dan para huruf adalah warnanya. Kedalaman sebuah kalimat–puisi–untuk saya adalah setara dengan pencapaian sebuah lukisan. Kekaguman yang sama sering saya temui pada lukisan-lukisan bapak Made Wianta.

Kembali pada #TulisPuisi, kali ini saya ingin membagi-bagikan beberapa hadiah kepada beberapa akun yang mengikutinya. Dan ada empat tulis puisi yang saya pilih untuk saya beri hadiah buku. Sebagai berikut:

BUrnGJpCcAAm2dc.jpg-large

#TulisPuisi karya @Jeisizzie

xekje

#TulisPuisi karya @Ama_achmad
BUr-1x3CcAAQdj9.jpg-large

#TulisPuisi karya @PritaNababan
BUsDUUmCEAALlfA.jpg-large#TulisPuisi karya @momo_DM

Saya berharap, kebiasaan kita mengetik juga bisa diimbangi dengan kita menulis. Untuk saya, kemudahan yang diberikan oleh keyboard, belum bisa menggantikan asiknya menulis. Meski melelahkan, dan kadang tulisan kita tidak terbaca oleh orang lain, minimal kita telah memberi kata-kata sebuah pengalaman. Apalagi untuk puisi, untuk saya kenikmatan menulis puisi dengan tinta selalu menciptakan keasikan yang unik di pengalaman menulis puisi saya–selain bisik-bisik alam kepada pikiran saya.

Selamat mengalami puisi, teman-teman. Semoga puisi selalu bersama kalian.

 

Kopi Kultur, September 2013

Tags:
September 19, 2013

Batavia (1)

Perjalanan.

Ini bisa jadi sebuah hal yang beberapa orang dambakan selalu dalam hidup mereka. Ada yang ingin jauh dari hal-hal yang biasa mereka lakukan, ada yang ingin melanjutkan pencarian untuk yang mereka sebut rumah, dan ada yang ingin sekedar mengisi halaman instagram mereka dengan foto-foto baru. Apa pun hasil akhirnya, perjalanan selalu mendorong saya untuk mencari hal-hal baru untuk menginspirasi stagnansi yang beku di pikiran saya untuk bergerak. Proses ini yang orang-orang (termasuk saya) sebut dengan pencarian–bukan karena tersesat– tapi karena sebuah hal kadang baru kita mengerti kebutuhannya (atau keberadaannya) justru hal tersebut ditemukan.

Perjalanan. Bulan lalu, saya menjalani sebuah perjalanan ke-sekian menuju Batavia. Saya tidak suka menyebutnya Jakarta. Setiap orang bertanya mungkin akan saya katakan dengan Jakarta, tapi di kepala saya selalu otomatis tertulis Batavia. Teman-teman selalu berkelakar tentang bagaimana saya justru berselancar ke Batavia, sementara orang-orang dari Batavia malah berlomba-lomba berlibur ke Bali. Kadang saya meminta mereka menganggap saja bahwa ini pertukaran pelajar (atau pertukaran orang stress, silahkan).

Saya suka ke Batavia. Tapi hanya sekedar liburan saja. Jika orang-orang Batavia menganggap liburan mereka ke Bali adalah untuk melepas stress dan mencari santai, pelarian dari kepenatan rutinitas mereka; anggap saja saya sebaliknya. Saya datang kemari mencari stress dan melepas santai. Dan ternyata itu adalah hal yang aneh, karena di sini yang terjadi justru sebaliknya.

Saya datang dan merasa amat santai. Mungkin ini adalah pengaruh dari Raja segala kesantaian Jakarta: Tuan Fahrizal Cecep nan Tawakkal. Gaya hidupnya yang amat lifestyle nan full easy man penuh ke-selo-an jadi soko guru bagi setiap aspek kehidupan saya. (tentu saja, saya salah satu followersnya hahaha). Tentu saja ini berkaitan pada pertemuan dengan teman-teman baik yang tadinya hanya saya lihat akunnya saya di timeline, hingga reuni-reuni kecil dengan sahabat lama. Continue reading

August 23, 2013

Sebuah Catatan

Tidak terasa, sudah hampir sebulan menjalani konsekuensi sebuah pilihan. 21 hari, tepatnya. Betapa selama ini angka 21 adalah angka yang berarti untuk saya. Lahir pada tanggal 21, dan saya sering mengartikannya sebagai dua menjadi satu. Apalah.

Untuk saya, melepaskan diri (resign) dari sebuah pekerjaan sesungguhnya bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan, meskipun pekerjaan tersebut kita anggap tidak lagi cukup untuk memenuhi ekspektasi kita akan sebuah tantangan, mau pun menunjang mimpi saya mengejar sebuah kesuksesan.

Setelah 7 tahun hidup dalam keteraturan dan penuh jaminan keamanan finansial, bulan ini saya memutuskan meninggalkannya semua. Meninggalkan hal-hal yang saya kerjakan setiap hari; kadang penuh cinta, kadang penuh benci–lalu memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa, yang ternyata sangatlah sulit untuk dilakukan. Tidak benar-benar tidak melakukan apa-apa, sesungguhnya. Masih ada kuliah S2 yang perlu saya selesaikan. Namun bulan ini, kuliah sedang libur. Sesungguhnya saya merencanakan untuk liburan keluar pulau Bali. Namun belum ada yang bisa direalisasikan.

(Tunggu, bahasa saya agak aneh yak? Terlalu resmi nggak? Peduli amat, hahaha)

Jadi begini. Sebenarnya tulisan ini saya tulis untuk mengisi kekosongan blog ini, dan mengimbangi isi blog ini dengan hal yang lebih pribadi. Jadi tidak hanya puisi, tapi juga beberapa catatan perjalanan yang ingin saya bagi kepada kalian. Karena pada beberapa kesempatan, hidup memberi saya banyak pelajaran. Sepertinya baik untuk saya apabila saya bisa berbagi beberapa pengalaman saya dengan teman-teman; terutama beberapa yang tidak bisa bertemu langsung dengan saya.

Bagaimana rasanya resign? Continue reading

July 21, 2013

Lima Sore dan Meja Lusuh yang Kehilangan Pelanggan

:amalia

Katakan kepadaku, mengapa mereka bilang hati tidak bisa dibohongi?

Beberapa kali kita mengaitkan tawa ke dalam kayuh, agar makin dekat kita menuju bahagia, tanpa sadar betapa basah kita akan keringat dan kelelahan mulai mengetuk  hati yang pegal-pegal.

Beberapa kali kita mengikat kesedihan di dalam mulut, mengunyahnya pelan-pelan agar semakin liat untuk ditelan, tanpa sadar bahwa beberapa bagian mengendap di lembah dan sesekali memaksa lidah kita membersihkannya hingga tersengal.

Laut di depanmu adalah kolam penampung kesedihan

Beberapa kali kau melipat secarik kertas penuh kerinduan, dan membuangnya ke dalam tong sampah plastik yang beberapa saat lalu dibawakan pelayan. Beberapa kali kau melipat kertas penuh air mata, jadi pesawat-pesawat kecil yang kau terbangkan menuju cakrawala; agar sampai kepada matahari dan dibakar rindu.

Bahkan sampai kau pergi dari sana, kau belum sadar bahwa laut yang sedari tadi menemanimu tengah mengandung potongan-potongan pilu yang pernah kau terbangkan.

Meja kayu, semangkuk diam dan pilu

Aku menyadari bahwa cinta adalah air mata yang mengalir dari matamu ketika kau merengek agar aku tidak pergi. Kau pun menyadari bahwa cinta adalah pelukan yang akan kuhadiahkan untuk kegusaranmu, serta kata-kata yang membelai rambutmu sejenak, sesaat setelah kau cukup tenang untuk melepasku dan sesaat sebelum sebuah ledakan di dalam dadamu mendorong hujan dari mendung di matamu.

Lalu kau menyeruput diam yang cair dari sendok, dan menunjukkan potongan pilu yang kau sisakan kepadaku. Aku menggeleng dan kau tersenyum, lalu kita perlahan memudar; meninggalkan semangkuk pilu ditopang sebuah meja kayu.

dps2013

tanpa kopi

Tags: